Sabtu, 16 Oktober 2010

Deregulasi Perbankan

DEREGULASI perbankan sudah digulirkan sejak 14 tahun lalu. Kesan bongkar pasang itu tak terhindarkan. Bahkan, dari dampak yang kini terasa yaitu goyahnya sejumlah bank swasta, sangat terasa bahwa aturan-aturan perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal-soal bank.
Paket-Paket Deregulasi :
1. Paket 1 Juni 1983 (Pakjun 83)
Deregulasi perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat beberapa hal. Di antaranya: menghapuskan pagu kredit. Memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan sendiri suku bunga kredit, tabungan, dan deposito. Kemudian dihapusnya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Deregulasi ini juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Aturan ini dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan perbankan Indonesia. Dan langkah ini berhasil menarik para nasabah untuk kembali ke bank.
2. Paket 7 juli 1997 (Pakjul)
Sepekan sebelum pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) di Tokyo, pemerintah mengeluarkan Paket Tujuh Juli (Pakjul). Di bidang moneter, paket itu menentukan pembatasan pemberian kredit kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembang properti. Hal tersebut dilakukan karena kredit macet bidang properti sudah kelewat tinggi.
Sebelum Pakjul, tepatnya 16 April, Bank Indonesia membuat penentuan tentang reserve requirement (cadangan wajib minimum bagi perbankan) dari 3 persen menjadi 5 persen. Pada bulan September keluar kebijakan penundaan terhadap mega proyek. Langkah itu diharapkan mampu mengurangi impor barang oleh pihak swasta. Seperti diketahui, di tengah lilitan kredit macet, bank-bank masih punya beban untuk menanggung proyek-proyek swasta dengan dana raksasa. Inilah deregulasi yang oleh banyak kalangan dinilai sudah kehilangan momentumnya. Karena, deregulasi kali ini adalah deregulasi tertunda yang seharusnya bulan lalu diumumkan. Isi paket deregulasi: pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Deregulasi yang dikeluarkan 7 Juli 1997 itu, diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah
Dalam paket Juli ini, untuk bidang impor, pemerintah memberlakukan ketentuan impor gula kasar, yang sebelumnya dikuasai oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), kini dapat dilakukan oleh importir produsen. Importir dalam hal ini, adalah pabrik gula yang menggunakan bahan baku gula kasar untuk produksinya. Selain itu, pemerintah juga membuka impor kapal bekas tanpa ada batasan kuota. dengan ketentuan selama kapal bekas masih layak pakai.
Sementara untuk perusahaan bukan penanaman modal, yang sebelumnya tidak mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, seperti penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), kini mendapatkan fasilitas yang sama. Kebijakan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk untuk bebas bea atas impor barang modal dan bahan baku, untuk keperluan selama dua tahun.
Dalam PP Nomor 22, disebutkan ada tujuh jenis penerimaan negara bukan pajak di semua departemen dan lembaga non departemen. Antara lain, penerimaaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan pembangunan), penerimaan hasil penjualan barang milik negara, hasil penyewaan barang milik negara, penerimaan hasil jasa giro uang negara, penerimaan ganti rugi atas kerugian negara, penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang. Selain itu, PP Nomor 22 juga mengatur semua jenis penerimaan negara bukan pajak di seluruh departemen dan lembaga non departemen.
Pemerintah juga membuka pintu kepada swasta untuk mendirikan balai lelang dalam bentuk perusahaan terbatas (PT). Bahkan swasta nasional diberikan kesempatan untuk berpatungan mendirikan balai lelang dengan pihak asing.
Di bidang moneter, khususnya perbankan, pemerintah melarang bank umum untuk memberikan kredit baru untuk pengadaan dan pengolahan lahan. Dengan kata lain, bank-bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada pengembang untuk membuka lahan baru. Kecuali untuk pengadaan rumah sederahana (RS) dan sangat sederhana (RSS).
3. Paket 27 Oktober 1988 (PakTo 88)
Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam Deregulasi Perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Pemberian izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal ringan. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai minimal Rp 100 juta. Namun demikian, Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan kemudahan oleh para 3 pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank-bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Tujuan pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan.

4. Paket 28 Februari 1991 (Paktri 91)
Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Untuk mengkoreksi akibat buruk Pakto 88, pemerintah meluncurkan Paktri yang keluar tanggal 28 Pebruari 1991. Yang utama diatur adalah syarat bahwa modal sendiri bank haruslah sebesar 8 % dari seluruh aset. Ketentuan yang lazim disebut CAR (capital adequacy ratio atau perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sebesar 8 persen mengharuskan bank-bank memperkuat modalnya sendiri. Ketika itu disebut-sebut bahwa banyak bank yang CAR-nya hanya sekitar 5 persen saja.
5. Paket 29 Mei 1993 (PakMei 93)
Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing. Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.

Kesimpulan :
Selama ini Perbankan di Indonesia selalu goyah, terutama sejumlah bank swasta. Maka dari itu Pemerintah membuat Paket Deregulasi dengan tujuan membangun Perbankan kea rah yang lebih baik. Dimulai dengan Pakjun 83 yang isinya menghapuskan pagu kredit. Memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan sendiri suku bunga kredit, tabungan, dan deposito. Kemudian dihapusnya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Dan yang kedua, Pakjul 97 yang berisi pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Dan yang ketiga, Pakto 88 yang berisi Mendorong perluasan jaringan keuangan & perbankan ke seluruh wilayah Indonesia serta diversifikasi sarana dana, Kemudahan pendirian bank-bank swasta baru, pembukaan kantor cabang baru,pemberian ijin penerbitan sertifikat deposito bagi lembaga keuangan bukan bank, perluasan tabungan. Penurunan likuiditas wajib minimum dari 25% menjadi 2%, dan Penyempurnaan Open Market Operation. Dan yang keempat, Paktri 91 yang berisi perbaikan dari Deregulasi Pakto 88, pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimal 8% dari kekayaan. Dan yang kelima, Pakmei 93 yang berisi Memperlancar kredit perbankan bagi dunia usaha, Mendorong perluasan kredit dengan tetap berpedoman pada azas-azas perkreditan yang sehat, mendorong perbankan untuk menangani masalah kredit macet, mengendalikan pertumbuhan jumlah uang beredar & kredit perbankan dalam batas-batas aman bagi stabilitas ekonomi, Pencanangan akan konsep kehati-hatian dalam pengelolaan bank yang lebih menekankan kepada kualitas dalam pemberian kredit melalui penilaian kembali terhadap aktiva produktif bank-bank.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar